Mitologi Mitologi_Yunani

Zaman para dewa

Pengebirian Uranus: lukisan dinding oleh Vasari & Cristofano Gherardi (c. 1560, Sala di Cosimo I, Palazzo Vecchio, Firenze).

Kosmogoni dan kosmologi

"Mitos asal-usul" atau "mitos penciptaan" melambangkan usaha untuk menguraikan alam semesta dan menjelaskan asal mula dunia supaya dapat dipahami oleh akal manusia.[4] Versi yang paling banyak diterima pada saat ini, meskipun merupakan suatu kisah falsafi mengenai asal usul segala sesuatu, diceritakan oleh Hesiodos, dalam karyanya Theogonia. Dia mulai dengan Khaos, suatu entitas yang tak berbentuk dan msterius. Dari Khaos ini muncullah Gaia atau Gê (dewi bumi) serta beberapa makhluk dewata primer lainnya, di antaranya adalah Eros (Cinta), Tartaros (Perut bumi), Erebos (Kegelapan), dan Niks (Malam). Niks bercinta dengan Erebos dan melahirkan Aither (Langit atas) dan Hemera (Siang).[5] Tanpa pasangan pria, Gaia melahirkan Uranus (dewa langit) dan Pontos (dewa laut). Uranus kemudian menjadi suami Gaia. Dari hubungan mereka, terlahirlah para Titan pertama, yang terdiri dari enam Titan pria iaitu Koios, Krios, Kronos, Hiperion, Iapetos, dan Okeanos, serta enam Titan wanita iaitu Mnemosine, Foibe, Rea, Theia, Themis, dand Tethis. Setelah Kronos lahir, Gaia dan Uranus memutuskan bahawa tidak ada Titan lagi yang boleh lahir. Anak-anak Gaia dan Uranus yang lahir kemudian adalah para Kiklops (raksasa bermata satu) dan Hekatonkheire (raksasa bertangan seratus). Karena memiliki rupa yang mengerikan, para Kiklops dan Hekatonkheire dikurung oleh Uranus.[6] Gaia marah atas tindakan Uranus dan mengajak para Titan untuk memberontak melawan Uranus. Kronos, anak Gaia yang "paling cerdik, muda, dan mengerikan",[5] melaksanakan perintah Gaia dan dia pun memotong alat kelamin ayahnya sendiri. Setelah itu Kronos menjadi penguasa para dewa dengan Rea, yang merupakan kakak sekaligus istrinya, sebagai pasangannya, dan para Titan yang lain menjadi anak buahnya.

Kronos Menelan Anaknya, menggambarkan Kronos yang sedang memakan bayi Poseidon. Lukisan oleh Peter Paul Rubens.

Kisah mengenai konflik antara ayah dan anak kembali terulang ketika Kronos dikonfrontasi oleh anaknya, Zeus. Ini bermula dari rasa takut ronos. Karena Kronos telah mengkhianati ayahnya, dia takut bahawa keturunannya akan melakukan hal yang sama. Jadi tiap kali Rea melahirkan, Kronos merebut bayinya dan menelannya. Rea marah atas tindakan suaminya dan memutuskan untuk melakukan suatu tipuan. Setelah melahirkan Zeus, Rea langsung menyembunyikannya dan memberikan batu yang terbungkus kain pada Kronos, yang langsung saja menelannya. Setelah dewasa, Zeus berhasil memperdaya Kronos untuk meminum suatu ramuan yang mengakibatkan Kronos memuntahkan semua anak-anak yang pernah ditelannya. Zeus lalu menyatakan perlawanan terhadap Kronos untuk merebut kepemimpinan para dewa. Pada akhirnya, dengan bantuan para Kiklops dan Hekatonkheire (yang dibebaskan oleh Zeus) serta melalui Titanomakhia (perang Titan) selama sepuluh tahun, Zeus dan saudara-saudarinya memperoleh kemenangan. Sementara itu Kronos dan para Titan pria, kecuali Atlas, dikurung di Tartaros.[7] Atlas sendiri memperoleh hukuman khusus, yakni dia mesti memikul langit.

Amphora berfigur hitam yang menggambarkan dewi Athena sedang "lahir" dari kepala Zeus, yang sudah menelan Metis, sementara itu dewi kelahiran, Eileithiia, berada di bahagian kanan, 550–525 SM (Museum Louvre, Paris).

Zeus juga dihinggapi rasa kehawatiran yang sama, dan, setelah adanya ramalan bahawa putera dari isteri pertamanya, Metis, akan menjadi dewa yang lebih kuat dari Zeus, maka Zeus pun menelan Metis. Ketika ditelan oleh Zeus, Metis sedang hamil. Setelah menelan Metis, Zeus mengalami sakit kepala yang luar biasa. Kemudian dari kepala Zeus terlahirlah dewi Athena yang sudah mengenakan baju perang lengkap. "Kelahiran" dari Zeus ini digunakan sebagai alasan mengapa Zeus tidak "digantikan" oleh dewa dari generasi selanjutnya, tetapi Zeus tetap tercatat sebagai asal-mula munculnya Athena. Ada kemungkinan bahawa ketika kisah ini muncul, perubahan kultural sudah berlangsung dan menyerap kultus lokal yang sudah berjalan lama mengenai pemujaan dewi Athena di kota Athena. Pemujaan itu kemudian berubah menjadi pantheon dewa-dewa Olimpus, dan proses perubahnnya sendiri terjadi tanpa konflik.

Orang Yunani yang memikirkan mengenai sajak menganggap bahawa theogonia (cerita kelahiran para dewa) sebagai genre puitis prototipe-mythos prototipikal—dan menghubungkan banyak kekuasaan di dalamnya. Orpheus, seorang penyair arketipal, juga merupakan seorang penyanyi arketipal theogonia. Dalam Argonautika buatan Apollonios, dikisahkan bahawa Orfeus menggunakan sajak-sajak theogonia untuk menenangkan lautan dan badai, juga untuk menggerakkan hati keras milik para dewa dunia bawah dalam perjalanannya ke dunia bawah. Dalam Himne Homeros untuk Hermes, ketika Hermes menciptakan lira, hal yang pertama kali dia lakukan adalah bernyanyi tentang kelahiran para dewa.[8] Theogonia buatan Hesiodos bukan hanya naskhah yang masih bertahan yang menceritakan mengenai para dewa, namun juga naskhah terlengkap yang masih ada yang menggambarkan fungsi penyair arkais. Theogonia sendiri diawali dengan doa pembuka yang ditujukan untuk para Mousai. Cerita theogonia merupakan subjek dari banyak sajak yang hilang, termasuk sajak-sajak yang dipercaya ditulis oleh Orfeus, Mousaios, Epimenides, Abaris, dan para peramal legendaris lainnya. Kisah-kisah tentang theogonia diyakini pernah digunakan dalam ritual penyucian pribadi dan ritus-ritus misteri. Ada indikasi bahawa Plato tidak asing dengan beberapa versi theogonia Orfik.[9] Namun, informasi mengenai kepercayaan dan ritus keagamaan memang sedikit, selain itu ciri-ciri budaya tersebut tidak akan dibeberkan secaa terbuka oleh para anggotanya ketika kepercayaannya sedang dilakukan. Setelah banyak kepercayaan religius yang menghilang, hanya sedikit orang yang masih mengetahui ritual dan ritusnya. Akan tetapi, kiasan dari rtus-ritus tersebut kadang muncul pada aspek-aspek yang cukup umum.

Penggambaran yang ada pada tembikar dan karya seni keagamaan, ditafsirkan, dan lebih mungkin disalahartikan dalam beragam mitos dan kisah. Beberapa bahagian dari karya-karya ini masih ada dalam bentuk kutipan-kutipan oleh para filsuf Neoplatonis dan baru-baru ini terungkap melalui potongan-potongan papirus. Salah satu adalah Papirus Derveni, yang kini membuktikan bahawa setidaknya pada abad kelima SM ada sebuah sajak theogonia-kosmogoni buatan Orfeus. Sajak tersebut berusaha mengalahkan Theogonia buatan Hesiodos. Dalam sajak tersebut, silsilah para dewanya dapat ditarik kembali sampai kepada Niks (dewi malam) sebagai perempuan permulaan utama yang muncul sebelum Uranus, Kronos, dan Zeus.[10] Disebutkan pula bahawa Malam dan Kegelapan dapat menjadi setara dengan Khaos.

Para kosmolog falsafah dari masa awal banyak yang bereaksi, atau kadang membangun pandangan di atas konsepsi mitos terkenal yang sudah ada di dunia Yunani untuk beberapa waktu tertentu. Beberapa dari konsepsi yang terkenal ini dapat dilihat dari sajak-sajak Homeros dan Hesiodos. Dalam karya-karya Homeros, Bumi adalah piringan datar yang terapung di samudra luas yang disebut Okeanos dan di bahagian atasnya ada langit hemisferikal yang diisi oleh mathari, bulan, dan bintang. Matahari (Helios) mengarungi langit dengan kereta perangnya pada siang hari dan berlayar di Bumi dengan mangkuk emas pada malam hari. Matahari, bumi, langit, sungai dan angin dapat dialamatkan ketika berdoa dan dipanggil untuk mengawasi sumpah. Celah alami yang ada di bumi secara terkenal dianggap sebagai jalan masuk ke dunia bawah, yang merupakan tempat berdiamnya para arwah, yang dipimpin oleh dewa Hades.[11] Sementara itu, pengaruh dari kebudayaan lainnya yang masuk ke Yunani juga selalu menghadirkan tema-tema baru.

Pantheon Yunani

Patung Poseidon di Museum Arkeologi Nasional Athena. Poseidon merupakan salah dewa Olimpus.

Berdasarkan mitologi Era Klasik, setelah kekuasaan para Titan dijatuhkan, Pantheon dewa dan dewi baru pun muncul. Salah satu kelompok dewa Yunani yang paling utama adalah para dewa Olimpus, yang tinggal di puncak Gunung Olimpus di bawah kepemimpinan Zeus. Gagasan yang membatasi bahawa jumlahnya harus dua belas kemungkinan berasal dari masa modern.[12] Selain para dewa Olimpus, bangsa Yunani juga menyembah berbagai dewa pedesaan, misalnya dewa-satir Pan dan para nimfa (peri alam), para dewa laut, para satir, dan banyak lagi yang lainnya. Nimfa sendiri terdiri dari para Naiad (nimfa mata air), Driad (nimfa pohon), dan Nereid (nimfa laut). Selain itu, ada juga para dewa di dunia bawah, misalnya para Erinyes (dewa angkara murka), yang dikatakan memburu orang-orang yang melakukan kejahatan terhadap keluarga sendiri.[13] Untuk menghormati Pantheon Yunani Kuno, para penyair menyusun Himne Homeros (tiga belas sajak untuk para dewa).[14] Gregory Nagy menganggap bahawa "Himne Homeros adalah suatu pembuka sederhana (dibandingkan dengan Theogonia), yang masing-masingnya ditujukan untuk satu dewa yang berbeda-beda'.[15]

Dalam keberagaman yang luas mengenai mitos dan legenda yang terdapat dalam mitologi Yunani, orang Yunani Kuno percaya bahawa para dewa pada dasarnya memiliki tubuh jasmani namun tubuh para dewa adalah tubuh yang ideal. Menurut Walter Burkert, ciri penting dari antropomorfisme Yunani adalah bahawa "para dewa Yunani berwujud orang, dan bukanlah sesuatu yang abstrak, ide ataupun konsep".[16] Menurut Edith Hamilton, penampakan visual sangat penting bagi orang Yunani kuno, jadi penggambaran para dewa yang ideal berasal dari penampakan "keindahan, kekuatan, dan ketangkasan" yang telah diketahui oleh orang Yunani kuno.[17] Terlepas dari bentuk yang mendasari mereka, para dewa Yunani Kuno memiliki banyak sekali kemampuan yang luar biasa, yang paling penting adalah bahawa para dewa tidak dapat terkena penyakit, dan hanya dapat terluka melalui keadaan yang sangat tidak biasa. Orang Yunani menganggap bahawa keabadian adalah karakteristik yang paling unik dari dewa mereka. Keabadian, seperti halnya keadaan awet muda, dihasilkan dari konsumsi nektar dan ambrosia secara terus-menerus. Dengan mengonsumsi itu, darah di pembuluh darah para dewa terus-menerus diperbaharui.[18] Meskipun para dewa jauh lebih berkuasa, orang Yunani tetap menjadikan para dewa itu memiliki beberapa ciri yang manusiawi. Dalam beberapa kasus, ada manusia yang disebut lebih mulia daripada dewa.[17]

Setiap dewa masing-masing memiliki asal-usul, silsilah, minat, ketertarikan, kepentingan, keahlian, kekuasaan dan kepribadian tersendiri. Akan tetapi, penggambaran para dewa muncul dari banyaknya variasi arkais lokal, yang tidak selalu sama antara satu dengan yang lainnya. Ketika dewa-dewa itu disebut dalam sajak, puisi, doa, atau kultus, mereka disebutkan dengan gabungan nama serta julukannya, yang membedakan mereka berdasarkan perbedaan-perbedaan itu dari perwujudan mereka yang lainnya. Salah satu contohnya adalah Apollo Mousagetes, yang artinya adalah "Apollo, pemimpin para Mousai". Selain itu, julukan juga dapat mengidentifikasi aspek yang khusus dan terlokalisasi dari para dewa, kadang-kadang julukan-julukan para dewa dipercaya sudah ada sebelum masa Yunani Klasik.

Patung Dionisos dan satir. Dibuat dari marmer. Salinan Romawi (abad ke-2 M) dari patung asli Yunani. Dionisos adalah dewa anggur dan merupakan salah satu dewa yang memiliki karakteristik yang kompleks.

Sebahagian besar dewa dihubungkaitkan dengan titik tertentu dalam kehidupan manusia. Contohnya, Aphrodite adalah dewi cinta dan kecantikan, Ares adalah dewa perang, Hades dewa orang mati, dan Athena dewi strategi perang dan kebijaksanaan.[19] Beberapa dewa, misalnya Apollo dan Dionisos, menunjukkan gabungan fungsi dan keperibadian yang kompleks, sedangkan yang lainnya, seperti Hestia (secara harfiah bermakna "perapian") dan Helios (secara harfiah bermakna "matahari"), tidak lebih dari sekadar personifikasi. kuil-kuil yang paling megah cenderung didedikasikan hanya untuk beberapa dewa saja iaitu dewa-dewa yang menjadi pusat pemujaan dari kultus pan-Hellenik yang besar. Akan tetapi, cukup lazim pula bahawa daerah-daerah dan desa-desa tertentu memiliki pemujaan tersendiri untuk dewa-dewa minor. Banyak pula kota yang menyembah para dewa yang lebih terkenal, dan para dewa itu disembah dengan ritus-ritus lokal serta mitos-mitos aneh yang diasosiasikan dengan mereka dan tidak diketahui di daerah lainnya. Pada zaman pahlawan, kultus pemujaan pahlawan (atau setengah dewa) menjadi pelengkap pemujaan para dewa.

Zaman para dewa dan manusia

Ada masa ketika hanya ada para dewa yang hidup di dunia, dan ada pula masa ketika campur tangan para dewa terhadap kehidupan manusia cukup terbatas. Di antara kedua masa itu, ada masa tradisional ketika para dewa dan manusia hidup bersama-sama. Masa tersebut adalah masa-masa awal dunia ketika kelompok dewa dan manusia dapat bergaul lebih bebas daripada masa-masa setelahnya. Banyak dari cerita mengenai tema tersebut muncul dalam Metamorphoses karya Ovidius. Kisah-kisahnya sering dibagi menjadi dua kelompok cerita tematik iaitu cerita cinta, dan cerita hukuman.[20]

Seorang Mainad yang sedang marah, membawa sebuah thirsos dan sekor macan tutul, dengan seekor ular membelit di kepalanya. Tondo dari Kylix Attika Yunani Kuno berlatar putih, 490-480 SM.

Kisah cinta seringkali melibatkan hubungan sedarah, atau hubungan seksual atau perkosaan yang dilakukan oleh dewa terhadap manusia perempuan. Hasil dari hubungan antara dewa dan manusia adalah manusia setengah dewa atau yang sering disebut pahlawan. Kisah-kisah yang ada secara umum menunjukkan bahawa hubungan antara dewa dan manusia adalah sesuatu yang perlu dihindari. Hubungan cinta dewa-manusia jarang ada yang berakhir bahagia.[21] Dalam beberapa kasus, ada pula dewi yang menjalin hubungan dengan manusia pria, seperti misalnya dalam Himne Homeros untuk Afrodit, yang menceritakan bahawa dewi Afrodit berhubungan seksual dengan Ankhises dan melahirkan Aineias.[22]

Kisah jenis kedua adalah kisah hukuman iaitu kisah yang melibatkan kemunculan atau penemuan beberapa artefak budaya yang penting, seperti misalnya ketika Prometheus mencuri api dari para dewa, ketika Tantalos mencuri nektar dan ambrosia dari meja makan Zeus dan memberikannya pada anak buahnya dan dengan demikian dia telah membeberkan rahasia para dewa, ketika Prometheus atau Likaon menciptakan ritual kurban, ketika Demeter mengajarkan pertanian dan Misteri kepada Triptolemos, atau ketika Marsias menciptakan aulos dan mengikuti kontes musik melawan Apollo. Ian Morris berpendapat bahawa kisah Prometheus merupakan "suatu masa antara sejarah para dewa dan sejarah manusia".[23] Suatu fragmen papirus tanpa nama, berasal dari abad ketiga, secara jelas menggambarkan hukuman dari Dionisos kepada raja Thrakia, Likurgos. Sang raja terlambat menyadari bahawa Dionisos adalah seorang dewa. Akibatnya dia harus menerima hukuman mengerikan bahkan sampai berhujung kematian.[24] Kisah mengenai kedatangan Dionisos, yang mendirikan kultusnya sendiri di Thrakia, juga merupakan subjek dari triologi Aiskhilos.[25] Dalam drama tragedi lainnya iaitu Bakkhai gubahan Euripides, dikisahkan bahawa raja Thebes, Pentheus, dihukum oleh Dionisos kerana dia tidak menghormati sang dewa dan mengintai para Mainad, sekelompok perempuan yang menyembah Dionisos.[26]

Dalam cerita lainnya, berdasarkan suatu motif cerita rakyat lama,[27] serta mengulangi tema yang sama, dikisahkan bahawa Demeter berusaha mencari putrinya, Persefone. Dalam pencariannya, Demeter menyamar menjadi seorang perempuan tua bernama Doso, dan menerima perlakukan yang ramah dari Keleus, Raja Eleusis di Attika. Sebagai balasan atas kebaikan Keleus, Demeter berencana menjadikan bayi lelaki mereka, Demofon, sebagai dewa. Untuk melakukannya, Demeter harus membakar aspek manusia sang bayi. Akan tetapi Demeter tidak sempat menyelesaikan ritualnya kerana ibu sang anak, Metaneira, melihat Demeter sedang menaruh bayinya di atas api. Metaneira menjerit dan Demeter pun marah. Akibatnya sang bayi tidak jadi diubah menjadi dewa.[28]

Zaman Pahlawan

Lukisan dinding di Pompeii yang menggambarkan Perseus dan Andromeda. Perseus adalah pahlawan Yunani dari generasi awal.

Zaman yang dikatakan adanya para pahlawan hebat mitologi ini hidup disebut dengan istilah Zaman Pahlawan.[29] Sajak-sajak epik dan genelaogis menciptakan kisah-kisah yang bercerita seputar pahlawan atau peristiwa tertentu, serta memunculkan hubungan antara para pahlawan dari cerita yang berbeda-beda; ceita-cerita itu kemudian disusun secara berurutan. Menurut Ken Dowden, "bahkan ada efek saga: kita dapat mengikuti cerita beberapa keluarga dalam generasi-generasi yang saling berurutan".[30]

Setelah munculnya kultus pemujaan terhadap para pahlawan, maka dewa dan pahlawan disembah dan dipuja bersama-sama dalam ritual yang sakral. Dewa dan pahlawan juga disebut bersama-sama dalam doa dan ikrar yang dialamatkan pada mereka.[31] Berlawanan dengan zaman para dewa, pada zaman pahlawan jumlah para pahlawan tidak dibatasi dan tidak ada daftar tetapnya. Pada masa ini, tidak ada lagi dewa besar yang dilahirkan, namun pahlawan-pahlawan baru selalu ada saja yang muncul. Perbedaan lainnya antara kultus pemujaan pahlawan dan dewa adalah bahawa pahlawan menjadi pusat dari identitas kelompok lokal.[31]

Peristiwa-peristiwa monumental dalam kisah Herakles dianggap sebagai masa-masa akhir dari Zaman Pahlawan. Pada Zaman Pahlawan ini juga terjadi tiga peristiwa besar iaitu ekspedisi para Argonaut, Kitaran Thebes dan Perang Troya.[32]

Herakles dan para Heraklid

Lihat juga: Herakles dan Heraklid

Beberapa sejarawan percaya[33] bahawa di balik mitologi Herakles yang sangat rumit mungkin terdapat manusia sungguhan, barangkali seorang pemimpin-pengikut di Kerajaan Argos. Beberapa sejarawan lainnya berpendapat bahawa kisah Herakles adalah alegori untuk perjalanan tahunan matahari, yang melewati dua belas rasi bintang zodiak[34] Sementara yang lainnya merujuk pada mitos-mitos yang lebih awai dari beebapa budaya lainnya, dan menunjukkan bahawa kisah Herakles merupakan adaptasi lokal dari mitos pahlawan yang sudah lebih dulu ada. Pada umumnya, Herakels dikenal sebagai putera dari Zeus dan Alkmene, cucu perempuan Perseus.[35] Perjalanan luar biasa yang dilakukannya sendirian, juga banyaknya tema cerita rakyat yang menyertainya, menghasilkan banyak cerita mengenai Herakles untuk legenda populer. Dia digambarkan sebagai seorang pemberi kurban dan disebut sebagai pendiri altar-altar. Dalam drama komedi Yunani Kuno, dia sering diperlihatkan sebagai seorang pemakan yang rakus. Sedangkan akhir hidupnya yang tragis banyak diceritakan dalam drama tragedi. Menurut Thalia Papadopoulou, drama Herakles gubahan Euripides merupakan "suatu drama yang amat sangat penting dari drama-drama Euripides lainnya".[36] Dalam sastera dan seni, Herakles digambarkan sebagai pria yang sangat kuat dan memiliki tinggi yang sedang. Senjata khasnya adalah panah namun dia juga sering membawa gada. Herakles sangat populer dalam tembikar Yunani Kuno, pertarungannya dengan Singa Nemea diabadikan dalam ratusan lukisan vas, mengindikasikan bahawa dia adalah salah stau pahlawan paling terkenal dalam mitologi Yunani.[37]

Herakles dan Kuda-kuda betina Diomedes. Patung kecil buatan J. M. Félix Magdalena.

Herakles juga diadaptasi ke dalam kultus dan mitologi Etruska dan Romawi sebagai Herkules, dan seruan "mehercule" menjadi sama lazimnya bagi orang Romawi seperti halnya "Herakleis" untuk orang Yunani.[37] Di Italia, dia disembah sebagai dewa para saudagar dan pedagang, meskipun beberapa orang lainnya menyembahnya untuk keberuntungan, nasib baik, serta penyelamatan dari marabahaya.[35]

Herakles mencapai martabat sosial yang tinggi melalui pengangkatannya sebagai leluhur resmi para raja Doria. Hal ini barangkali berfungsi sebagai pembenaran bagi suku Doria untuk bermigrasi ke Peloponnesos. Hillos, pahlawan eponim dari satu phyle Doria, menjadi putera Herakles dan merupakan salah satu Herakleidai atau Heraklid. Heraklid sendiri merupakan orang-orang keturunan Herakles, terutama keturunan Herakles melalui Hillos. Para Heraklid di antaranya adalah Makaria, Lamos, Manto, Bianor, Tlepolemos, dan Telefos. Para Heraklid itu menaklukan sejumlah kerajaan di Peloponnesos, antara lain Mikenai, Sparta dan Argos. Menurut legenda, mereka mengklaim bahawa merke punya hak untuk berkuasa dari leluhur mereka. Proses kebangkitan mereka menuju kekuasaan sering disebut sebagai "serangan Doria". Para raja Lydia, dan kelak Makedonia, sebagai penguasa dengan pangkat yang sama, juga termasuk golongan para Heraklid.[38]

Beberapa pahlawan lainnya yang muncul pada masa-masa awal Zaman Pahlawan, misalnya Perseus, Deukalion, Theseus dan Bellerophon, memiliki banyak kesamaan sifat dengan Herakles. Seperti halnya Herakles, mereka juga melakukan petualangan yang fantastis dan sendirian. Petualangan mereka juga menyentuh batas-batas dongeng, kerana mereka menghadapi monster-monster semacam Khimaira, Medusa, dan Minotaur. Petualangan Bellerogon merupakan jenis petualangan yang cukup umum dan mirip dengan petualangan Herakles dan Theseus. Dalam tradisi pahalwan awal, tema yang sering berulang adalah usaha untuk mengirim para pahlawan menuju sesuatu yang berbahaya. Tema ini muncul dalam kisah Perseus dan Bellerofon.[39]

Argonaut

Untuk lebih terperinci berkenaan dengan topik ini, sila lihat Argonaut.

Satu-satunya wiracarita hellenistik yang masih bertahan iaitu Argonautika buatan Apollonios dari Rodos (wiracaritawan, sejarawan, dan pustakawan di Perpustakaan Iskandariyah), menceritakan tentang pelayaran Iason dan para Argonaut untuk memperoleh Bulu Kencana dari tanah Kolkhis yang mitis. Dalam Argonautika, Iason disuruh oleh raja Pelias di istana sang raja untuk melakukan perjalanan, dan Iason pun memulai petualangannya. Hampir semua pahlawan yang hidup pada masa tersebut ikut serta bersama Iason dalan kapal Argo untuk membantu mengambil Bulu Domba Emas. Pahlawan terkenal yang termasuk dalam rombongan Argonaut meliputi Theseus, yang pergi ke Kreta dan membunuh Minotaur; Atalanta, sang pahlawan wanita; dan Meleagros, yang pernah memiliki siklus epik tersendiri menyaingi Iliad dan Odysseia. Pindaros, Apollonios dan Apollodoros berusaha keras untuk memberi daftar lengkap orang-orang yang ikut dalam kelompok perjalanan Argonaut.[40]

Meskipun Apollonios menulis sajaknya pada abad ke-3 SM, penyusunan cerita Argonaut terjadi lebih dulu daripada Odisseia, yang menunjukkan adanya keterkaitan antara Odisseia dengan petualangan luar biasa Iason (sebagian pengembaraan Odisseus mungkin didasarkan pada cerita Argonaut).[41] Pada masa kuno, ekspedisi itu dianggap sebagai fakta sejarah, sebuah insiden dalam proses masuknya perdagangan dan kolonisasi Yunani ke Laut Hitam.[42] Cerita Argonaut juga sangat terkenal dan membentuk suatu siklus yang dikaitkan dengan sejumlah legenda lokal. Cerita Medeia, misalnya, mampu menarik perhatian berbagai penyair tragedi .[43]

Wangsa Atreus

Oidipus dan sphinx, tondo dari kylix Attika berfigur merah, 480–470 SM. Oidipus merupakan salah satu pahlawan yang muncul dalam Kitaran Thebes.

Pada zaman antara petualangan Argonaut dan Perang Troya, ada sebuah generasi yang cukup dikenal kerana kejahatannya yang mengerikan. Ini meliputi perbuatan-perbuatan Atreus dan Thiestes di Argos. Di balik mitos tentang wangsa Atreus (yang merupakan satu dari dua dinasti kepahlawanan terpenting bersama dengan wangsa Labdakos) terdapat suatu masalah yang berkutat seputar peralihan kekuasaan serta masalah mengenai kebangkitan menuju kekuasaan. Si kembar Atreus dan Thiestes beserta keturunan-keturunan mereka memainkan peran yang menentukan dalam cerita-cerita tragedi tentang peralihan kekuasaan di Mykenai.[44]

Kitaran Thebes

Kitaran Thebes berkisah tentang peristiwa-peristiwa yang secara khusus diasosiasikan dengan Kadmos, pendiri kota Thebes, dan di kemudian hari diasosiasikan pula dengan perbuatan-perbuatan Laios dan Oidipus di Thebes. Jadi, Kitaran Thebes adalah serangkaian cerita yang berhujung pada penyerangan terhadap Thebes yang dilakukan oleh tujuh pahlawan Argos dan para Epigoni.[45]

Tidak diketahui apakah kisah Tujuh Melawan Thebes diceritakan dalam wiracarita awal. Mengenai nasib Oidipus, cerita-cerita epik awal tampaknya mengisahkan bahawa dia melanjutkan masa pemerintahannya di Thebes setelah terungkap bahawa Iokaste adalah ibunya, dan kemudian menikahi isteri keduanya, yang melahirkan anak-anak Oidipus. Rincian kisah tersebut cukup berbeda dibandingkan dengan kisah yang digambarkan melalui drama-drama tragedi, misalnya Oidipus Sang Raja gubahan Sofokles serta naskhah-naskhah mitologi selanjutnya.[46]

Perang Troya

Rencana utama: Perang Troya
Lihat juga: Kitaran Epik

Mitologi Yunani berpuncak pada Perang Troy serta peristiwa-peristwia setelahnya. Perang Troya terjadi ketika pasukan Yunani menyerang kota Troya di Asia Kecil. Dalam karya-karya Homeros, misalnya Iliad, cerita utamanya sudah memiliki bentuk dan substansi, sedangkan tema-tema individunya baru muncul kemudian, khususnya dalam drama Yunani. Perang Troya juga menimbulkan ketertarikan yang besar dalam budaya Romawi kerana adanya kisah mengenai Aineias, seorang pahlawan Troya yang berhasil menyelamatkan diri ketika Troya dihancurkan. Dikisahkan bahawa dalam perjalanannya, Aineias mendirikan kota yang kemudian menjadi kota Roma. Kisah tersebut diceritakan dalam Aeneid karya Virgilus. Buku satu dalam Aeneid sendiri berisi versi paling terkenal mengenai penghancuran Troya.[47] Sumber lainnya mengenai Perang Troya adalah dua pseudo-kronik dalam bahasa Latin yang ditulis atas nama Diktis Kretensis dan Dares Phrygios.[48]

Lukisan dinding di istana Achilleion yang menggambarkan Akhilleus sedang menyeret jenazah Hektor menggunakan kereta perangnya. Konflik antara Akhilleus dan Hektor merupakan sebahagian penting dari Iliad, yang menceritakan tentang Perang Troya.

Kitaran Perang Troya, suatu kumpulan wiracarita mengena Perang Troya, dimulai dengan sejumlah peristiwa yang kemudian berhujung pada peperangan, antara lain kisah tentang Eris dan apel emas Kallistinya, Keputusan Paris, penculikan Helene, dan pengurbanan Ifigeneia di Aulis. Untuk mendapat Helene kembali, pasukan Yunani melakukan ekpspedisi besar-besaran di bawah komando saudara Menelaos, yakni Agamemnon, raja Argos atau Mykenai. Namun pihak Troya tidak mau menyerahkan Helene sehingga pasukan Yunani harus menggunakan cara-cara kekerasan. Iliad, yang berlatar pada tahun kesepuluh dalam Perang Troya, mengisahkan persilisihan antara Agamemnon dan Akhilleus, yang merupakan salah satu prajurit Yunani terhebat. Iliad juga menceritakan kematian Patrokhlos, sahabat dan kekasih pria Akhilleus, yang mengabaikan nasihat Akhilleus sehingga pada akhirnya Patroklos dibunuh oleh Hektor, putera sulung Priamos. Akhilleus marah besar dan balas membunuh Hektor. Setelah Hektor meninggal, pihak Troya dibantu oleh dua sekutu tambahan iaitu Penthesileia, ratu suku Amazon, dan Memnon, raja Ethiopia dan putera Eos, dewi fajar.[49] Akhilleus membunuh keduanya, namun kemudian Paris berhasil membunuh Akhilleus dengan cara memanahnya di bahagian tumitnya. Tumit Akhilleus adalah satu-satunya bahagian tubuhnya yang tidak kebal terhadap senjata manusia. Sebelum dapat menaklukan Troya, pasukan Yunani harus terlebih dahulu mengambil Palladium (patung kayu Athena) dari kuil di Troya. Dan pada akhirnya, dengan bantuan dewi Athena, pasukan Yunani membuat sebuah kuda kayu raksasa dan berpura-pura pergi dari Troya. Sebenarnya Kassandra, anak Priamos, sudah memperingatkan bahawa kuda itu berbahaya, akan tetapi rakyat Troya dipengaruhi oleh Sinon, orang Yunani yang berpura-pura telah melepaskan diri dari pasukan Yunani. Rakyat Troya pun membawa kuda itu masuk ke dalam kota sebagai persembahan untuk dewi Athena. Laokoon, seorang pendeta mencoba menghancurkan kuda itu, akibatnya dia tewas dimakan oleh ular laut kiriman Poseidon. Pada malam harinya, armada Yunani kembali ke Troya, sementara para prajurit Yunani yang berdiam dalam kuda kayu keluar dan membuka gerbang Troya. Malam itu pun menjadi malam kehancuran untuk Troya. Priamos dan semua anaknya dibantai, sedangkan semua wanita Troya dijadikan budak dan dijual ke berbagai kota di Yunani.

Dua wiracarita kuno iaitu Nostoi ("Kembali") yang kini hilang dan Odisseia karya Homeros, menceritakan perjalanan pulang para pemimpin Yunani seusai Perang Troya (termasuk pengembaraan Odisseus dan pembunuhan Agamemnon). Sementara itu petualangan Aineias diceritakan dalam wiracarita Aeneid.[50] Kitaran Perang Troya juga meliputi kisah-kisah petualangan anak-anak dari para tokoh yang terlibat Perang Troya, seperti msialnya Orestes dan Telemakhos.[49]

Perang Troya memunculkan beragam tema dan menjadi sumber inspirasi utama untuk para seniman Yunani Kuno. Salah satu karya seni yang mengambil tema dari Perang Troya adalah metope di kuil Parthenon yang menggambarkan penghancuran Troya. Pilihan artistik ini, yang mengambil tema dari Kitaran Troya, mengindikasikan bahawa ksiah itu sangat penting bagi peradaban Yunani Kuno.[50] Kisah Perang Troya juga mengilhami serangkaian tulisan sastera Eropah posterior. Contohnya para penulis yang menulis mengenai Troya di Eropah Abad Pertengahan. Mereka tidak terkait dengan Homeros dan menemukan banyak kisah kepahlawanan dan cerita romantis dalam legenda Troya serta kerangka yang cocok yang ke dalamnya mereka memasukkan gagasan-gagasan mereka sendiri mengenai nilai-nilai kesatria, kesopanan, dan kegagahan. Penulis abad ke-12, misalnya Benoît de Sainte-Maure (Roman de Troie [Roman Troya, 1154–60]) dan Joseph dari Exeter (De Bello Troiano [Mengenai Perang Troya, 1183]) menggambarkan peperangan di Troya sambil menulis kembali versi rasmi yang mereka temukan dari naskhah kuno karya Diktis dan Dares. Dengan demikian mereka telah mengikuti nasihat-nasihat Horatius dan contoh-contoh Virgilus iaitu mereka menulis kembali sajak Troya dan bukannya menulis sesuatu yang benar-benar baru.[51]

Rujukan

WikiPedia: Mitologi_Yunani http://www.ancientlibrary.com/smith-bio/ http://books.google.com/books?id=EpbZLRPGgBsC&prin... http://books.google.com/books?id=OFO_NQJh8L0C&pg=P... http://books.google.com/books?id=OFO_NQJh8L0C&prin... http://books.google.com/books?id=TQyRX6WmMUMC&prin... http://www.sacred-texts.com/cla/argo/argo00.htm http://www.sacred-texts.com/cla/gpr/gpr07.htm http://www.sacred-texts.com/cla/gpr/gpr07.htm#fr_5... http://www.sacred-texts.com/cla/hesiod/works.htm http://www.sacred-texts.com/cla/hh/hh1000.htm