Hambatan Proyek Strategis Nasional

Pembangunan Proyek Strategis Nasional sendiri dalam implementasinya tidak luput menemui hambatan. Setidaknya terdapat lima hambatan yang sering ditemui dalam pembangunan Proyek Strategis Nasional, yakni pembebasan ladang sebesar 44% dari 225 Proyek Strategis Nasional, perencanaan dan penyiapan projek sebanyak 25%, pendanaan sebanyak 17%, pemerolehan keizinan sebanyak 12%, dan pelaksanaan pembinaan 2%.[158]

Pembebasan ladang

Pembebasan ladang juga menghambat Proyek Strategis Nasional kilang minyak. Sebagai contoh, dari enam kilang minyak, tiga di antaranya, yakni Kilang Cilacap, Kilang Tuban, dan Kilang Bontang, mengalami hambatan pembebasan ladang.[159] Di Tuban, 17 warga setempat mengajukan gugatan terhadap penetapan lokasi (penlok) Kilang Minyak Tuban, yang menelan laburan Rp 230 trilion, ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan berhasil menang.[160] Gubernur Jawa Timur kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan keputusan Mahkamah Agung mengesahkan penetapan lokasi terhadap projek Kilang Tuban.[161] Setelah menang di kasasi, PT Pertamina sudah mulai melakukan pembayaran ganti rugi untuk 400 hektar ladang milik warga pada Februari 2020. Adapun jumlah keperluan ladang projek kilang minyak Tuban adalah 800 hektar dengan rincian 400 hektar ladang milik warga dan 400 hektar ladang milik Kementerian Lingkungan Hidup.[162]

Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, Pertamina membutuhkan ladang tambahan untuk perluasan Kilang Minyak Cilacap dan keperluan ladang tersebut akan dipenuhi dengan skema tukar-menukar ladang dengan Kementerian Lingkungan Hidup, yang saat ini tengah dalam proses negosiasi. Di Bontang, Pertamina juga membutuhkan jumlah ladang seluas 900 hektar, namun yang baru terpenuhi seluas 400 hektar.[159]

Meski terhambat pembebasan ladang, Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional mengklaim pengadaan tanah untuk Proyek Strategis Nasional hingga Disember 2019 telah mencapai sekitar 38 ribu hektar, terdiri atas 60 projek jalan tol seluas 16.582 hektar, 16 jaringan rel kereta api seluas 728,6 hektar, 12 projek irigasi seluas 768,02 hektar, 26 pembangunan bendungan seluas 7.949 hektar, dua kawasan ekonomi khusus (KEK) seluas 8.183 hektar, pembangunan pos lintas batas negara seluas 50,2 hektar, 13 projek infrastruktur kelistrikan seluas 4.131 hektar, dan 1 kilang minyak seluas 43,01 hektar.[163]

Perencanaan

Berdasarkan kajian Komite Percepatan dan Penyiapan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), terdapat dua faktor yang membuat perencanaan dan penyiapan sebuah projek infrastruktur, termasuk projek-projek infrastruktur dengan status Proyek Strategis Nasional, berjalan lambat. Kedua faktor tersebut adalah Pertama, perencanaan projek yang panjang akibat kurangnya koordinasi antara pemangku kepentingan. Kedua, kualitas desain projek belum memadai, sehingga berdampak pada penambahan waktu untuk meninjau kelayakan projek.[164]

Guna memenuhi standar antarabangsa, Komite Percepatan dan Penyiapan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) membantu perencanaan dan persiapan projek termasuk dokumen pra studi kelayakan (outlined business case/OBC), skema bisnis dan pembiayaan. Saat ini, dokumen persiapan projek infrastruktur yang ditawarkan kepada investor telah berisikan detail nama projek, nilai laburan yang dibutuhkan, tingkat pengembalian laburan, manfaat finansial, termasuk fasilitas kemudahan yang diberikan oleh pemerintah serta perkiraan risiko pelaburan.[1] Dalam proses perencanaan ini, KPPIP dinilai perlu memperhitungkan risiko keterlambatan projek, pembengkakan biaya, dan hasil yang tidak sesuai harapan, sebagai pusat perhatian.[20]

Solusi lainnya adalah penerapan kebijakan satu peta nasional (one map policy), sinkronisasi data spasial dan data statistik seperti peta pusat pertumbuhan baru, peta pengembangan kawasan industri, dan peta prioritisasi penurunan kesenjangan.[165] Dimulai dari penerbitan Peraturan Presiden No 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000, kemudian peluncuran geoportal pada Disember 2018 yang mencakup 83 dari jumlah 85 peta tematik dari 19 kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.[166]

Penyiapan projek

Di tahap penyiapan projek, masalah krusial yang menjadi hambatan adalah kualitas desain projek yang tidak memadai. Hambatan ini diatasi dengan menyediakan Project Development Fund dari Unit Kerjasama Pemerintah Badan Usaha atau PPP Unit (Public Private Partnership) Kementerian Keuangan membantu Project Development Fund (PDF). Sementara itu, Kementerian PPN/Bappenas memusatkan fasilitas penyiapan projek regular.[167]

Dengan adanya Project Development Fund, Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dapat terbantu dari sisi biaya dalam menyiapkan prastudi kelayakan, dokumen tender, hingga projek mencapai financial close. PT Sarana Multi Infrastruktur bertindak sebagai pelaksana pendampingan bagi PJPK.[168]

Komite Percepatan dan Penyiapan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) juga berperan dalam penyiapan projek. Salah satunya dengan menyusun dan melakukan sosialisasi tentang standar pra studi kelayakan atau outlined business case (OBC). Pihak KPPIP juga telah membentuk Panel Konsultan di bidang penyiapan projek, undang-undang, keuangan, pengurusan projek, dan pengadaan tanah/penilaian projek. Kelima fungsi konsultan tersebut diisi oleh masing-masing tujuh konsortium konsultan lokal dan antarabangsa agar dapat membantu PJPK.[168]

Penyiapan dokumen prastudi kelayakan berperan strategis dalam memastikan sebuah projek layak secara teknis, ekonomis, finansial dan tidak memiliki risiko maupun dampak negatif sosial lingkungan. Ketidakakuratan dalam membuat dokumen prastudi kelayakan berupa analisis ekonomi seperti kesalahan dalam menentukan tingkat diskonto yang tepat, ketidakcermatan dalam menentukan asumsi debt-to-equity ratio (DER), penghitungan interest during construction, pengabaian perkiraan harga, ketidakakuratan estimasi pendapatan dan biaya, ketidakkonsisten arus kas nominal dan riil, Ketidakakuratan tentang timing arus kas, sering kali menyebabkan sebuah projek menjadi tidak layak secara ekonomis.[169]

Pendanaan

Untuk mengatasi pendanaan, pemerintah telah membentuk PT Sarana Multi Infrastruktur dan memperbesar kapasitas permodalannya sebesar Rp 20,4 trilion pada Disember 2015, sehingga modal PT Sarana Multi Infrastruktur menjadi di atas Rp 22 trilion[170], kemudian PT Indonesia Infrastructure Finance yang berdiri pada 15 Januari 2010[171], PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia yang dibentuk pada 11 Mei 2010 dan ruang lingkup penjaminannya diperluas untuk Badan Usaha Milik Negara, termasuk BUMN yang mendapat penugasan dari pemerintah, layanan availability payment, yakni fasilitas pembayaran secara berkala PJPK kepada badan usaha atas tersedianya layanan infrastruktur, serta Lembaga Manajemen Aset Negara yang tugasnya menjamin ketersediaan ladang tepat waktu bagi pembangunan Proyek Strategis Nasional. Hingga Disember 2019, Lembaga Manajemen Aset Negara telah merealisasikan pembayaran pengadaan tanah sebesar Rp 45,09 trilion.[172]

Jauh sebelum itu, pemerintah juga telah menyediakan fasilitas pendanaan Viability Gap Fund atau dana dukungan kelayakan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 223/PMK.011/2012 tentang Pemberian Dukungan Kelayakan atas Sebagian Biaya Konstruksi pada Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Dana Dukungan Kelayakan diberikan secara tunai sebesar maksimum 49% dari jumlah nilai projek yang dikerjasamakan. Latar belakangnya kerana beban laburan berupa pembangunan pembinaan yang mahal belum mampu dikembalikan sepenuhnya oleh tarif layanan infrastruktur akibat daya beli masyarakat.[173]

Berbagai terobosan terkait hambatan pendanaan untuk membiayai projek infrastruktur juga telah banyak dilakukan. Salah satu terobosan terbaru perihal pendanaan ini adalah skema pembiayaan baru bernama Hak Pengelolaan Terbatas (HPT) atau Limited Concession Scheme (LCS).[174]

Tujuan dari skema Hak Pengelolaan Terbatas (HPT) adalah pemerintah dapat memonetisasi aset infrastruktur yang telah beroperasi dan berjalan secara komersial. Dalam skema ini, pemerintah tetap menjadi pemilik aset, namun optimalisasi aset infrastruktur yang telah berjalan tersebut dikerjasamakan dengan badan usaha. Optimalisasi aset mencakup baik pengembangan aset, penggunaan teknologi baru, hingga perbaikan operasional.[174]

Menurut Komite Percepatan dan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), skema Hak Pengelolaan Terbatas (HPT) ini akan diatur melalui Peraturan Presiden yang saat ini rancangannya sedang dalam proses harmonisasi. Selain itu, Peraturan Presiden No 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah perlu direvisi.[174]

Di pasar modal, sejak 2017 sudah terbit Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 52/POJK.4/2017 tentang Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Dana Investasi Infrastruktur atau bahasa awamnya adalah reksa dana infrastruktur. KIK Diinfra diterbitkan oleh Manajer Investasi dan ditawarkan kepada investor publik (baik investor institusi maupun ritel) dengan minimal pembelian Rp 100.000.[175]

Dengan adanya beberapa alternatif sumber pendanaan, beberapa Proyek Strategis Nasional dengan skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha dapat berjalan, seperti Jalan Tol Balikpapan-Samarinda, Jalan Tol Manado-Bitung, Jalan Tol Panimbang-Serang, dan Jalan Tol Yogyakarta-Bawen. Selain itu, Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan. Proyek Strategis Nasional Palapa Ring juga menggunakan skema availability payment.[1]

Pelaksanaan

Dalam pelaksanaan pembinaan, hambatan muncul di beberapa Proyek Strategis Nasional. Contohnya, dalam pembinaan Pelabuhan Patimban, diperlukan kesepakatan dengan pengusaha ternak ayam selaku pemilik ladang di area jalan akses agar bersedia dilakukan relokasi ke luar area pelabuhan. Relokasi diperlukan agar pekerjaan pembinaan jalan akses dapat dilakukan.[168]

Contoh lainnya adalah pembinaan kereta api cepat Jakarta-Bandung. Konstruksi jalur bawah tanah kereta api ini bersinggungan dengan bored pile LRT Jabodebek, sehingga solusinya adalah memperkuat rekayasa struktur bored pile LRT tersebut.[168]

Oleh kerana itu, dalam pelaksanaan pembinaan ini, KPPIP sebagai koordinator program disarankan memperkuat sinkronisasi, koordinasi, monitoring, dan debottlenecking, melalui pendekatan prosedur Maeutic Machine.[20]

Penolakan warga

Di luar aspek teknis penyiapan projek, hambatan pembangunan Proyek Strategis Nasional datang dari adanya aksi penolakan dan demo dari warga setempat, terutama kerana warga keberatan dengan ganti rugi ladang. Penolakan dan demo dari warga terjadi untuk beberapa Proyek Strategis Nasional, seperti Bendungan Rokan Kiri (Kabupaten Rokan Hulu, Riau), Bendungan Way Apu (Maluku), Bendungan Balongo Ulu (Gorontalo), dan Jalan Tol Padang-Pekanbaru. Warga di sekitar lokasi Bendungan Rokan Kiri khawatir desanya tenggelam dan tidak mendapat ganti rugi, sehingga menolak pembangunan bendungan yang menelan laburan sebesar Rp 2,6 trilion dan dapat mengairi area persawahan seluas 4.000 hektar.[176] Di Maluku, mahasiswa berdemo atas berjalannya pembangunan Bendungan Way Apu di Maluku, senilai Rp 1,66 trilion, kerana dinilai pengerjaan proyeknya asal-asalan.[177]

Masyarakat Nagari Kasang, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, berdemo meminta kompensasi ganti rugi ladang yang layak untuk projek Jalan Tol Padang-Pekanbaru. Warga menilai ganti rugi yang ditawarkan untuk 109 bidang tanah masih di bawah Nilai Jual Objek Pajak.[178] Selain itu, warga meminta agar akses tidak terputus antara kampung, sehingga PT Hutama Karya selaku kontraktor berencana membuat perlintasan bawah tanah sebagai solusinya.[179] Pembangunan Bendungan Balongo Ulu juga didemo oleh warga setempat menyangkut persoalan ganti rugi ladang.[180] Di Pleret, Pasuruan, warga mempermasalahkan projek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan, terkait masalah Amdal dan kekhawatiran komersialisasi atas penyediaan air minum.[181] Hal berbeda terjadi pada warga Tapanuli Selatan yang justru mendukung pembangunan PLTA Batang Toru berkapasitas 510 MW. Warga malah menentang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ingin membatalkan salah satu Proyek Strategis Nasional tersebut.[182]

Persoalan pembebasan Tanah Ulayat turut menjadi faktor penghambat tersendatnya pembangunan Proyek Strategis Nasional. Seluruh warga lokal harus dipindahkan, meski hanya sebagian Tanah Ulayat yang terkena pembangunan projek. Kepala suku harus dibujuk, ada upacara pelepasan hak ulayat, dan pergantian ganti rugi juga harus transparan, dengan melibatkan pemerintah daerah.[183]

Rujukan

WikiPedia: Proyek Strategis Nasional http://bloktuban.com/2019/07/30/ma-kabulkan-kasasi... http://www.harianproperty.com/Infrastruktur/detail... http://www.hutamakarya.com/id/about-trans-sumatera http://www.hutamakarya.com/id/annual-reports http://tuskadvisory.com/Document/The%20Impact%20of... http://ojs.atmajaya.ac.id/index.php/metris/article... http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/jkebijakan... http://www.conference.unsri.ac.id/index.php/uniid/... http://iif.co.id/id/tentang-kami/ikhtisar/ http://industri.kontan.co.id/news/fokus-di-kilang-...