Yasser_Arafat
Yasser_Arafat

Yasser_Arafat

Yasser Arafat, nama penuh Mohammed Abdel-Raouf Arafat bin Qudwa al-Hussaeini (24 Ogos 1929 - 11 November 2004) (Arab: ياسر عرفات), Presiden Palestin, Pengerusi Pertubuhan Pembebasan Palestin (PLO) dan pemenang Hadiah Keamanan Nobel. Arafat dilahirkan sebagai Muhammed Yasser Abdel-Rahman bin Abdel-Raouf Arafat al-Qudwa al-Husseini di Kaherah, Mesir pada 24 Ogos 1929. Anak kepada seorang saudagar, Arafat mempunyai hubungan pertalian dengan keluarga Husseini, sebuah keluarga terkemuka di Baitulmuqaddis, menerusi ibunya, Beliau dan isterinya, Suha, berumah tangga pada akhir tahun 80-an dan mereka mempunyai seorang anak perempuan, Zahwa.Presiden Palestin Yasser Arafat telah menjadi simbol dan personifikasi perjalanan panjang perjuangan Palestin untuk merdeka di negeri sendiri. Sejak masa remaja, Yasser, nama panggilannya semasa kanak, sudah berjuang untuk bangsa dan negerinya. Berulangkali nyawanya terancam tapi ia tidak pernah surut melawan Israel yang menjajah negerinya. Bahkan terakhir, ia diancam usir paksa oleh Zionis Israel daripada markasnya di Baitulmuqaddis. Tapi ia tak gentar.Yasser Arafat dilahirkan pada 24 Ogos 1929 di Kaherah. Ayahnya seorang pedagang tekstil keturunan Palestin dan Mesir, ibunya berasal daripada keluarga Palestin di Baitulmuqaddis. Ibunya mati ketika Yasser berumur lima tahun, lalu ia dikirim untuk tinggal bersama paman daripada pihak ibu di Baitulmuqaddis, ibu kota Palestin. Ia menceritakan sedikit sekali tentang masa kanak-kanaknya, tetapi salah satu kenangan yang tidak dilupakannya adalah ketika tentera Inggeris menyerbu masuk ke rumah pamannya lepas tengah malam, memukuli anggota keluarganya dan memporak-porandakan perabotan. Setelah empat tahun di Baitulmuqaddis, ayahnya membawanya kembali ke Kaherah, di mana kakaknya yang lebih tua menjaganya dan saudara-saudara kandungnya. Arafat tidak pernah menyebut-nyebut ayahnya, yang tidak terlalu dekat dengan anak-anaknya. Arafat bahkan tidak menghadiri penguburan ayahnya pada tahun 1952. Di Kairo, sebelum berumur 17 tahun, Arafat menyelundupkan senjata bagi warga Palestin untuk digunakan melawan Inggeris dan Yahudi. Usia 19 tahun, selama perang antara Yahudi dan negara-negara Arab, Arafat meninggalkan studinya di Universiti Faud (sekarang Universiti Kairo) untuk berjuang melawan Yahudi di daerah Gaza. Kekalahan negara Arab dan berdirinya negara Israel membuatnya putus asa lalu mengurus visa untuk belajar di Universiti Texas. Setelah semangatnya pulih dan keinginan untuk terus mengejar mimpinya akan tanah Palestin yang merdeka, ia kembali ke Universiti Faud mengambil jurusan kejuruteraan awam tetapi malah menghabiskan banyak waktunya sebagai pemimpin mahasiswa-mahasiswa Palestin. Ia berhasil mengambil gelarnya tahun 1956, sempat bekerja di Mesir lalu ditempatkan kembali di Kuwait, pertama kali bekerja di departemen pekerjaan umum, lalu kemudian berhasil menjalankan usha sendiri, perusahaan kontraktor. Tapi ia menghabiskan sebagian waktu luangnya dalam kegiatan politik, di mana ia menggunakan sebahagian besar keuntungan ushanya untuk kepentingan perjuangannya itu. Pada 1958, dia dan teman-temannya mendirikan Al-Fatah, jaringan rahsia gerakan bawah tanah, dimana pada 1959 mulai menerbitkan majalah yang menganjurkan perang melawan Israel dengan senjata. Akhir 1964, Arafat meninggalkan Kuwait untuk menjadi seorang revolusioner sepenuh waktu, mengorganisasikan serangan Fatah ke Israel dari Yordania.Pada tahun yang sama pula, berdirilah Pertubuhan Pembebasan Palestin (PLO), yang disponsori oleh Liga Arab, mengumpulkan semua kelompok agar bersatu membawa Palestin menjadi negara merdeka. Sikap Arab lebih bersifat kebijakan mendamaikan dibandingkan kebijakan Fatah, tetapi setelah kekalahan mereka melawan Israel tahun 1967 dalam perang selama enam hari, Fatah bangkit dari bawah tanah sebagai kelompok paling kuat dan terstruktur dengan baik dibandingkan kelompok-kelompok lainnya yang membentuk PLO. Fatah mengambil alih organisasi itu pada 1969 ketika Arafat menjadi ketua komite eksekutif PLO. PLO tidak lagi menjadi organisasi boneka negara-negara Arab, yang menginginkan agar warga Palestin tetap diam, melainkan menjadi organisasi nasionalis independen yang berpusat di Yordania.Arafat membangun PLO menjadi sebuah ‘negara’ yang memiliki kekuatan militer sendiri dalam negara Yordania. Raja Hussein dari Yordania, sangat terganggu dengan serangan-serangan gerilya dan metode kekerasan lainnya yang mereka lakukan terhadap Israel, hingga pada akhirnya ia memaksa PLO keluar dari negaranya. Arafat mencari jalan membangun organisasi yang sama di Lebanon, tetapi tersingkir oleh pendudukan militer Israel. Ia berjuang mempertahankan organisasi itu tetap hidup, dengan memindahkan markas besarnya ke Tunisia. Ia berulang kali bertahan hidup, lolos dari kecelakaan pesawat, lolos dari pencobaan pembunuhan oleh agen rahsia Israel, dan pulih dari penyakit stroke yang serius. Hidupnya adalah perjalanan, berpindah dari negara yang satu ke negara yang lain untuk mempromosikan Palestin. Selalu menjaga agar gerakannya tetap bersifat rahsia, sama seperti yang dia lakukan terhadap kehidupan pribadinya. Bahkan pernikahannya dengan Suha Tawil, seorang perempuan Palestin yang berusia separuh dari usianya, tetap dirahsiakan selama lima belas bulan. Isterinya pada waktu itu sudah aktif dalam kegiatan sosial khususnya bagi anak-anak cacat di rumahnya, tetapi penampilannya yang mencolok dalam pertemuan di Oslo menjadi kejutan bagi banyak pemerhati Arafat. Sejak itu, putri mereka, Zahwa, yang diberi nama sesuai nama ibu Arafat, lahir. Period setelah pengusiran dari Lebanon merupakan masa sulit bagi Arafat dan PLO. Lalu gerakan protes Intifadha mendorong Arafat untuk menarik perhatian dunia terhadap kesulitan yang dihadapi Palestin. Pada 1988 terjadi perubahan kebijakan. Dalam pidatonya di PBB di Jenewa, Swiss, Arafat menyatakan bahwa PLO menolak aksi terorisme dan mendukung ‘hak semua kelompok yang bertikai di Timur Tengah untuk hidup damai dan aman, termasuk negara Palestin, Israel dan negara-negara tetangga”.Prospek ke arah perjanjian damai dengan Israel mulai cerah. Setelah kemunduran akibat keputusan PLO mendukung Irak dalam Perang Teluk tahun 1991, proses perdamaian mulai serius dilakukan, dimulai dari Perjanjian Oslo tahun 1993. Perjanjian ini akhirnya membawa Arafat, Yitzak Rabin, dan Shimon Peres memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian di tahun 1994.
Sebagai anggota gerila dan ketua pertubuhan Fatah, beliau dianggap sebagai pejuang kebebasan oleh penyokongnya tetapi sebagai pengganas oleh musuhnya. Beliau meninggal dunia pada 11 November 2004, sewaktu berumur 75 tahun di hospital tentera Percy de Clamart di Perancis dan telah dikebumikan di Ramallah.