Sejarah Baju_rantai

Salah satu yang paling awal menyebutkan baju rantai adalah Kidung Ranggalawe, sebuah naskah kidung Jawa yang menceritakan tentang pemberontakan Ranggalawe terhadap Majapahit pada 1295 masehi. Nama di naskah itu adalah waju rante, yang berarti baju yang terdiri atas rantai-rantai besi. Zoetmulder mencatatkan penggunaan pakaian khusus untuk pahlawan: Dalam penelitiannya tentang orang Jawa kuno ia mendapati tentera yang disebut bala winaju gangsa ranti,[3]:1370 yang berarti tentera berbaju gangsa ranti. Gangsa (dari kata sansekerta: kangśa) merujuk pada semacam aloi tembaga dan timah,[3]:275 sedangkan ranti berarti rantai.[3]:919

Hikayat Banjar mencatat perlengkapan Bhayangkara di istana Majapahit, termasuk:

... dengan perhiasannya orang berbaju rantai empat puluh serta pedangnya berkopiah taranggos sachlat merah, orang membawa astengger [senapang sundut] empat puluh, orang membawa perisai serta pedangnya empat puluh, orang membawa dadap serta sodoknya sepuluh, orang membawa panah serta anaknya sepuluh, yang membawa tombak rampukan bersulam emas empat puluh, yang membawa tameng Bali bertulis air empat puluh.

Dua komuniti etnik terkait di Sulawesi Selatan, suku Bugis dan Makassar, juga mengadopsi baju besi rantai yang mereka sebut waju rante atau waju ronte. Zirah ini dibuat oleh sebliangan cincin besi yang terikat satu sama lain, yang membuatnya mirip dengan rajutan.[4]:39 Selama bertahun-tahun peperangan, askar Bugis dan Makassar, berpakaian zirah rantai dan membawa senapang lantak yang mereka buat sendiri, memperoleh reputasi yang baik untuk keganasan dan keberanian mereka.[5]:209