Polisi Oda_Nobunaga

Tenka Fubu

Pada abad pertengahan, rakyat Jepun terdiri dari kelas bangsawan, kelas pendeta, dan kelas samurai. Stempel Nobunaga bertuliskan "Tenka Fubu" (penguasaan seluruh Jepun dengan kekuatan militer) yang sering diartikan sebagai ambisi Nobunaga untuk mendirikan pemerintahan militer oleh kelas samurai dengan menghapus kelas bangsawan dan kelas pendeta. Ambisi Nobunaga menghancurkan kelas pendeta terlihat dari kebijakannya menghancurkan Pemberontakan Ikko Ikki dan Perang Ishiyama yang dilancarkan terhadap kuil Honganji dan pendeta Kennyo. Keshogunan Muromachi yang berada dibawah kendali Nobunaga juga mengeluarkan peraturan pertanahan di Kyoto yang menempatkan kompleks rumah tinggal kelas bangsawan di lokasi khusus agar lebih mudah diawasi.

Kegiatan beragama

Walaupun menyatakan dirinya sebagai penganut sekte Hokke, Nobunaga dinilai tidak punya penghormatan sama sekali terhadap agama Buddha. Perintahnya dinilai kejam dalam penyelesaian masalah Ikko Ikki dan pembantaian massal kuil Enryakuji. Nobunaga dikabarkan menggunakan patung batu dewa pelindung anak dalam agama Buddha dan batu nisan sebagai tembok batu di Istana Azuchi.

Pihak yang pembela Nobunaga menyangkal Nobunaga tidak religius dengan menunjuk pada bukti langit-langit menara utama Istana Azuchi yang dipenuhi hiasan gambar para tokoh dalam agama Buddha, Taoisme dan Konfusianisme. Pendapat lain mengatakan Nobunaga hanya menginginkan pemerintahan militer yang sekuler. Nobunaga juga tidak pernah melarang kegiatan beragama seperti Jōdo Shinshū dan kuil Enryakuji.

Polisi terhadap istana

Nobunaga tidak menempati jabatan di istana setelah mengundurkan diri dari jabatan Udaijin, bulan April 1578. Pengunduran diri Nobunaga sering dikatakan berkaitan dengan wafatnya Uesugi Kenshin di usia 49 tahun, bulan Maret 1578.

Ada pendapat yang mengatakan Nobunaga sudah mempunyai kekuasaan yang cukup hingga tidak lagi memerlukan bantuan dari istana, apalagi saingan Nobunaga sudah tidak ada lagi. Musuh-musuh besar Nobunaga seperti Uesugi Kenshin, kekuatan militer dari kuil Honganji dan puak ternama seperti puak Takeda, puak Mōri dan puak Ōtomo semuanya sudah habis.

Di daerah Kanto, Nobunaga berusaha menjalin persekutuan dengan puak Gohōjō yang menguasai wilayah bernilai 2.400.000 koku. Pemimpin puak juga dikirimi wanita untuk dijadikan istri.

Nobunaga ikut membantu dalam soal keuangan dan turut campur dalam pengambilan keputusan di istana. Maharaja hanya berperan sebagai boneka Nobunaga, hingga pada puncaknya Nobunaga meminta Maharaja Ōgimachi untuk mengundurkan diri. Maharaja Ōgimachi adalah Maharaja yang sudah berpengalaman dan tidak mudah mengikuti setiap perkataan Nobunaga. Nobunaga sebaliknya masih menuruti perintah Maharaja setiap kali Maharaja tidak sependapat dengan Nobunaga yang ingin selalu menyerang musuh kuatnya di berbagai tempat.

Pendapat lain mengatakan pameran kekuatan Nobunaga dalam bentuk parade pasukan kavaleri di tahun 1581 diadakan dengan tujuan mengancam Maharaja Ōgimachi. Pendapat yang membela Nobunaga mengatakan parade pasukan tidak dilakukan dengan tujuan mengancam Maharaja.

Maharaja Ōgimachi bermaksud berkompromi dengan Nobunaga dengan cara memberikan gelar-gelar seperti Seitaishogun, Dajō Daijin, dan Kampaku. Pendapat lain mengatakan ada kemungkinan kalangan istana merupakan dalang Insiden Honnōji kerana kuatir dengan Nobunaga yang semakin bebas menjalankan politik Tenka Fubu setelah wafatnya Uesugi Kenshin.

Polisi perdagangan

Nobunaga menjalankan politik pasar bebas (rakuichi rakuza) dalam bentuk penghapusan sistem kartel dan pos-pos pemungutan pajak yang tidak perlu, sehingga peredaran barang dan perekonomian berkembang dengan pesat. Nobunaga juga melakukan survei wilayah dan memindahkan tempat kediaman pengikutnya di kota sekeliling istana.

Penghapusan sistem kartel hanya berlaku di daerah-daerah yang bisa dibebaskan dari kartel. Distribusi barang dikuatirkan lumpuh jika sistem kartel dihapus di seluruh daerah. Sistem kartel seperti di Kyoto tetap dipertahankan mengingat anggota kartel berpengaruh di bidang politik.

Polisi kepegawaian

Nobunaga lebih menghargai kemampuan daripada asal-usul keluarga. Pengikut Nobunaga yang kemudian menjadi sukses seperti Takigawa Kazumasu dan Akechi Mitsuhide adalah bekas ronin. Kinoshita Tōkichirō juga berasal dari prajurit berjalan kaki (ashigaru). Para menteri dari puak yang sudah mengabdi dari generasi ke generasi, seperti Sakuma Nobumori dan Hayashi Hidesada sebaliknya justru diusir oleh Nobunaga.

Sakuma Nobumori dan Hayashi Hidesada bukannya tidak berprestasi, tapi Nobunaga lebih menghargai hasil pekerjaan Shibata Katsuie yang merupakan pengikut sekaligus panglima pasukan dari wilayah Hokuriku. Nobumori dan Hidesada memang pernah diizinkan untuk terus mengikuti Nobunaga, tapi ketika mencoba berperan aktif justru dikenakan tindakan disiplin berupa pemecatan.

Upacara minum teh yang sedang populer pada saat itu digunakan Nobunaga sebagai sarana berpolitik dan bisnis dengan kalangan pengikutnya. Para pengikut Nobunaga juga sebaliknya menjadi sangat menghargai tradisi upacara minum teh. Nobunaga menggunakan perangkat minum teh berharga tinggi dari provinsi penghasil keramik terbaik sebagai imbalan pengganti uang tunai. Takigawa Kazumasu yang memiliki wilayah Kanto kabarnya sangat kecewa kerana tidak diberi imbalan berupa perangkat minum teh Shukōkonasu. Imbalan yang diterima dari Nobunaga justru penambahan wilayah kekuasaan berupa Provinsi Kōzuke dan gelar penguasa daerah Kanto.