Pemikiran Ploutarkhos

Politik

Ploutarkhos agaknya selalu memikirkan keterlibatan hidup para filsuf dengan dunia politik.[1] Hal ini yang membedakannya dengan Plato yang kurang menekankan etika sikap hidup.[1] Menurut beliau, seorang filsuf (tradisi Stoa seharusnya juga seorang shopis, yakni seseorang yang bukan sahaja mencintai kebijaksanaan, malah berusaha menjadi seorang yang bijak), dan seseorang itu tidak perlu terlibat dalam dunia politik.[1] Namun, penarikan dari kehidupan politik, menurut Ploutarkhos juga tidak diperbolehkan, meskipun ia untuk sementara waktu.[1] Golongan yang hidup dalam keadaan yang baik pasif mahupun menentang politik dianggap sebuah tindakan tercela.[1] Politik bahkan dianggap sebagai suat bidang yang tidak boleh dipermainkan dan suci, mengandung sesuatu yang ilahiah, di mana ia kadangkalanya dideskripsikan dalam istilah "inisiasi" yang dapat dilihat dari petua Plutarch:[1]

Negarawan yang sempurna turut campur dalam persoalan publik, mulanya dengan menjadi calon inisiasi, tetapi pada akhirnya dia akan menjadi orang yang mengajar dan menginisiasi (menginspirasi / mengilham) orang lain. Kegiatan politik [siyasah] adalah pengabdian kepada tanah air seseorang, yang bahkan dapat menuntut hak yang lebih tinggi berbanding orang tua seseorang. Negarawan atau warga negara yang baik seharusnya tidak menolak atau meremehkan setiap jawatan awam sekalipun tahap sederhananya, [kerana] setiap jawatan adalah kebaikan yang suci.

Ploutarkhos dalam Praec. 824a-b, 795e, 792e, 816a

Pandangan terhadap etika

Ploutarkhos senada dengan pemikiran Stoa yang menekankan hidup dalam kemandirian prinsip demi kebahagiaan, terlibat politik dalam mencapai kebaikan, melakukan pengabdian kepada negara dan Tuhan melalui hukum ilahi.[1] Baginya, tujuan politik adalah sesuatu yang baik secara moral dan tidak ada yang lain.[1] Kebaikan politik adalah yang paling sempurna dan tak satu pun dari kebaikan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dapat lepas dari hukum, keadilan dan kekuasaan.[1]

Politik adalah bukan sesuatu bentuk pengabdian (leitourgia) yang mencapai batasnya ketika keperluan dipenuhi habis-habisan, tetapi merupakan jalan hidup bagi makhluk yang mulia dan diciptakan untuk polis dan bermasyarakat, dan pada dasarnya ditetapkan untuk menjalani kehidupan berpolitik, mengejar cita-cita yang baik secara moral dan setiap saat memperlakukan orang lain dengan rasa kemanusiaan.

—Ploutarkhos dalam Should the Elderly Engage in Politics?791c