Keperibadian Sanherib

Sanherib duduk di atas singgasana, bagian dari rangkaian relief Lakhis yang menggambarkan kampanye militer Sanherib di Syam.
Gambar yang mendetail di dalam buku A Dictionary of the Bible (terbitan tahun 1887), karya tulis Philip Schaff.

Sumber-sumber utama yang dapat digunakan untuk mengetahui keperibadian Sanherib adalah prasasti-prasasti yang dikeluarkannya. Prasasti-prasasti ini tidak ditulis sendiri oleh Sanherib melainkan oleh para panitera istana, dan kerap digunakan sebagai sarana propaganda yang mencitrakan Sanherib sebagai raja yang lebih baik daripada semua penguasa lain, baik penguasa-penguasa yang sezaman dengannya maupun penguasa-penguasa sebelumnya.[101] Selain itu, prasasti-prasasti Kerajaan Asyur kerap hanya memuat keterangan-keterangan tentang kegiatan ketenteraan dan pembangunan serta menggunakan kaidah-kaidah sastra yang baku, yang tidak banyak berbeda dari satu raja ke raja lain.[102] Dengan menelaah prasasti-prasasti tersebut dan membandingkannya dengan prasasti-prasasti keluaran raja-raja lain maupun prasasti-prasasti selain yang dikeluarkan raja-raja, dapat diketahui beberapa aspek keperibadian Sanherib. Seperti di dalam prasasti-prasasti keluaran raja-raja Asyur yang lain, Sanherib menunjukkan kebanggaan dan penghargaan yang tinggi terhadap dirinya sendiri, misalnya di dalam kalimat "Asyur, ramanda para dewa, tunak memandang diriku di antara sekalian raja, dan menjadikan senjata-senjataku lebih sakti daripada (senjata-senjata) sekalian orang yang bersemayam di atas persada (singgasana)." Beberapa bahagian lain menonjolkan kecerdasan, misalnya di dalam kalimat "Dewa Ninsyiku mengaruniakan kepadaku kewaskitaan yang setara dengan (kewaskitaan) Begawan Adapu (dan) memperlengkapi diriku dengan pengetahuan yang luas". Di dalam beberapa prasasti, Sanherib digelari "utama di antara sekalian raja" (ašared kal malkī) dan "nara sempurna" (eṭlu gitmālu).[100][101] Keputusan Sanherib untuk mempertahankan nama lahirnya saat dinobatkan, alih-alih menyandang nama baru selaku raja, seperti yang pernah diperbuat oleh sekurang-kurangnya 19 dari 21 pendahulunya, menyiratkan tingginya rasa percaya diri. Sanherib juga menyandang beberapa gelar baru yang tidak pernah disandang raja-raja Asyur, misalnya "pembela kebenaran" dan "pecinta keadilan", yang menyiratkan keinginan untuk meninggalkan jejak peribadi pada era baru yang bermula dengan masa pemerintahannya.[26]

Pada saat dinobatkan menjadi Raja Asyur, Sanherib sudah dewasa dan sudah menjadi Putera mahkota selama 15 tahun, sehingga ia memahami seluk-beluk administrasi Kemaharajaan Asyur Baru. Tidak seperti raja-raja sebelum maupun sesudahnya (termasuk ayahnya sendiri), Sanherib tidak mencitrakan diri sebagai seorang penakluk dan tidak banyak mengutarakan niat untuk menaklukkan dunia. Prasasti-prasasti keluarannya justru menonjolkan berbagai projek pembangunan besar-besaran yang diprakarsainya. Sebahagian besar kempen ketenteraannya tidak dilancarkan untuk menaklukkan, melainkan untuk memadamkan pemberontakan, merebut kembali daerah-daerah yang dirampas musuh, dan untuk mengumpulkan dana bagi projek-projek pembangunannya.[103] Kenyataan bahwa beberapa kempen ketenteraan dipimpin para panglima, alih-alih dipimpin Sanherib sendiri, menunjukkan bahwa ia tidak gemar berperang seperti para pendahulunya.[104] Ganjaran dan hukuman brutal terhadap musuh-musuh Asyur yang dijabarkan di dalam Tawarikh Sanherib belum tentu mencerminkan kejadian yang sesungguhnya. Penjabaran tersebut juga dimanfaatkan sebagai sarana intimidasi untuk kepentingan propaganda dan perang psikologi.[105]

Tulisan dalam bahasa Akad (berikut terjemahannya ke dalam bahasa Inggris) yang tertera di atas kepala pahatan sosok Sanherib di dalam relief Pengepungan Lakhis, terdapat di dalam buku Discoveries in the Ruins of Nineveh and Babylon (terbit tahun 1853), karya tulis Austen Henry Layard.

Walaupun tampak kurang berminat menguasai dunia, Sanherib menyandang gelar-gelar tradisional Mesopotamia yang bermakna penguasa dunia, yakni "raja semesta alam" dan "raja empat penjuru bumi". Gelar-gelar lain, misalnya "raja perkasa" dan "raja adikuasa", maupun sebutan-sebutan penghormatan seperti "nara perwira" (zikaru qardu) dan "banteng beringas" (rīmu ekdu), dipakai dengan maksud menandaskan kekuasaan dan kebesarannya. Sanherib meriwayatkan seluruh kempen ketenteraannya sebagai pencapaian kemenangan, termasuk kempen-kempen ketenteraan yang gagal. Kenyataan ini belum tentu disebabkan oleh keangkuhan peribadi, kerana kempen ketenteraan yang gagal akan dipandang rakyatnya sebagai tanda bahwa para dewa tidak lagi merestui pemerintahannya.[103] Sanherib sungguh-sungguh yakin bahwa para dewa merestui dirinya, oleh kerana itu semua kempen ketenteraan itu ia anggap sebagai perbuatan yang benar.[104]

Eckart Frahm yakin bahwa Sanherib menderita gangguan stres pascatrauma akibat kemalangan yang menimpa ayahnya. Dari sumber-sumber yang ada, tampaknya Sanherib lekas naik darah jika menerima kabar buruk, dan mengalami masalah-masalah kejiwaan yang serius. Esarhadon menyebutkan di dalam prasasti keluarannya bahwa Sanherib disiksa "iblis alû", dan mula-mula tidak seorang pun ahli nujum yang berani memberitahu sang raja tentang tanda-tanda kehadiran iblis tersebut.[31] Tidak jelas apa yang dimaksud dengan iblis alû, tetapi gejala-gejala lumrah yang disebutkan di dalam dokumen-dokumen dari masa itu mencakup pesakit tidak mengenali diri sendiri, pupil mata mengecil, tangan dan kaki mengejang, tidak mampu berbicara, dan telinga berdengung.[26]

Eckart Frahm dan Asiriolog Julian E. Reade telah mendalami gagasan bahwa Sanherib dapat diklasifikasikan sebagai seorang feminis. Para sanak wanita lebih menonjol dan menikmati lebih banyak keistimewaan pada masa pemerintahan Sanherib ketimbang pada masa perintahan raja-raja Asyur sebelumnya. Alasan di balik kebijakan yang ramah terhadap sanak wanita ini tidak diketahui. Mungkin Sanherib ingin mengalihkan kekuasaan dari para panglima dan pembesar Asyur kepada para sanak wanita, kerana pernah berhadapan dengan ratu-ratu perkasa bangsa Arab yang mampu mengambil keputusan sendiri dan memimpin angkatan perang. Mungkin juga ia ingin menebus cara-caranya yang keliru dalam menyikapi kemangkatan ayahnya. Menanjaknya harkat kaum menak wanita terbukti dari banyaknya karya tulis yang menyebut-nyebut para permaisuri Asyur dari masa pemerintahan Sanherib ketimbang permaisuri-permaisuri Asyur terdahulu, dan terbukti pula dari keterangan bahwa permaisuri-permaisuri Sanherib memiliki pasukan-pasukan ketenteraan sendiri, sama seperti raja. Kian sering ditampilkannya citra-citra para dewi pada masa pemerintahan Sanherib juga merupakan cerminan dari menanjaknya harkat para sanak wanita. Sebagai contoh, Dewa Asyur berulang kali digambarkan bersama pendamping wanita, mungkin sekali Dewi Mulisu.[106]

Walaupun Sanherib percaya akan takhayul sehubungan dengan nasib malang ayahnya dan percaya akan dukungan para dewa,[28][104] Reade yakin bahwa sampai taraf tertentu Sanherib bersikap skeptis terhadap agama. Tindakan penghabisan yang diperbuat Sanherib terhadap kota Babel, yakni menghancurkan kota itu berikut kuil-kuil di dalamnya, merupakan tindakan penistaan agama, dan Sanherib tampaknya menelantarkan kuil-kuil di Kerajaan Asyur sampai ia melaksanakan pemugaran kuil Dewa Asyur di kota Asyur menjelang akhir masa pemerintahannya.[107]