Sejarah Silat

Silat tersebar sepanjang Alam Melayu (kepulauan Melayu). Silat diperkirakan menyebar di Alam Melayu semenjak abad ke-7 masehi. Kerajaan-kerajaan besar, seperti Srivijaya dan Majapahit disebutkan memiliki pendekar-pendekar besar yang menguasai ilmu bela diri dan dapat menghimpun prajurit-prajurit yang kemahirannya dalam pembelaan diri dapat diandalkan. Peneliti silat Donald F. Draeger berpendapat bahwa bukti adanya seni bela diri bisa dilihat dari berbagai artefak senjata yang ditemukan dari masa klasik (Hindu-Budha) serta pada pahatan relief-relief yang berisikan sikap-sikap kuda-kuda silat di candi Prambanan dan Borobudur. Dalam bukunya, Draeger menuliskan bahwa senjata dan seni beladiri silat adalah tak terpisahkan, bukan hanya dalam olah tubuh sahaja, melainkan juga pada hubungan spiritual yang terkait erat dengan kebudayaan Melayu. Sementara itu Sheikh Shamsuddin (2005) berpendapat bahwa terdapat pengaruh ilmu bela diri dari Cina dan India dalam silat. Hal ini karena sejak awal kebudayaan Melayu telah mendapat pengaruh dari kebudayaan yang dibawa oleh pedagang maupun perantau dari India, Cina, dan mancanegara lainnya. Meski begitu, silat telah diakui sebagai seni Melayu asli.[6] Orang Melayu yang telah menetap di bandar-bandar pantai pulau Sumatra dan Semenanjung Melayu, dari Aceh di utara ke Kelantan, Kedah dan Kepulauan Riau di selatan, dan Pattani di utara ialah orang yang mengamalkan silat. Perhubungan dengan kumpulan suku kaum lain di bandar-bandar pantai telah juga mempengaruhi bentuk silat. Adanya bukti bahawa budaya China dan India telah mempengaruhi gaya-gaya seni mempertahankan diri itu.[7] Apabila Islam disebarkan sepanjang nusantara abad ke-14, ia diajar bersampingan silat. Selain seni bertarung dan tarian budaya rakyat, silat juga kemudiannya menjadi suatu latihan rohaniah.[8]

Silat telah diperhalus sebagai ciri keistimewaan sultan, panglima dan pendekar sewaktu empayar Kesultanan Melaka, Majapahit dan Srivijaya. Ialah detik apabila silat tersebar sepanjang Semenanjung Tanah Melayu, Jawa, Bali, Sulawesi,Sulu,Mindanao dan Borneo. Orang Melayu, terutamanya di semenanjung Melayu, menganggap cerita legenda Hang Tuah pada abad keempat belas sebagai bapa silat.[7]

Silat berkongsi sejarah yang sama di Malaysia (termasuk Singapura ketika itu), Brunei dan Indonesia sewaktu era penjajahan sebagai suatu wadah untuk membebaskan diri daripada kekuasaan penjajah.[7] Sewaktu era pasca penjajahan, silat telah menikmati populariti dan nama yang tinggi oleh kerana jasa-jasa pendekar yang telah memimpin perjuangan dan mengorbankan nyawa untuk kemerdekaan.