Sejarah Orang_Indo

Kaum Indo terbentuk hampir seusia dengan kedatangan saudagar-saudagar Eropah, diawali oleh orang Portugis, lalu Spanyol, Inggris, dan kemudian Belanda. Bangsa-bangsa Eropah lain, seperti Belgium, Jerman, Prancis, dan Denmark berdatangan sesudahnya.

Periode awal pembentukan: Era Portugis dan Spanyol (1500-1600)

Bahagian ini tidak memetik apa-apa sumber atau rujukan. Sila bantu dalam [//ms.wikipedia.org/w/index.php?title=Orang_Indo&action=edit memperbaiki bahagian ini] dengan menambahkan rujukan ke sumber-sumber yang boleh dipercayai. Bahan yang tidak disahkan mungkin akan dipertikai dan dipadam. (Oktober 2018) (Ketahui bagaimana dan bila untuk membuang pesanan templat ini)

Penjelajah dari Eropah mulai ramai datang ke Nusantara pada awal abad ke-16, sebagai konsekuensi dari Zaman Penjelajahan (Age of Exploration) yang melanda Eropah. Banyak di antara mereka yang tertarik untuk atau terpaksa menetap di negeri tujuan. Mereka adalah orang Portugis dan Spanyol beserta budak-budak mereka dari India, Sri Lanka, Malaka, atau Nusantara bagian timur (seperti Maluku, Bali, atau Gowa/Bugis). Misi Eropah berdatangan karena bisnis dan perdagangan, namun ada pula yang menetap karena tugas keagamaan (misi). Cukup banyak yang kemudian menikah atau bahkan memiliki anak tanpa ikatan pernikahan dengan penduduk setempat, mengingat pendatang dari Eropah semuanya lelaki. Di Tanah Melayu pula, keturunan mereka saat ini disebut sebagai Melayu Eropah. atau juga Serani. Di Indonesia, sisa-sisa dari masyarakat campuran ini dapat ditemukan di Maluku, Flores, Kampung Tugu (Cilincing, Jakarta Utara) serta Kampung Lamno Jaya, Aceh Barat. Masyarakat yang terakhir ini sekarang nyaris punah akibat bencana Tsunami Aceh 2004

Walaupun periode relatif ini singkat, terdapat banyak warisan budaya masyarakat ini yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Cara bergaul orang Portugis yang relatif terbuka dan tidak rasis membuat budayanya banyak terserap secara mudah. Berbagai tanaman asal Amerika tropis, beberapa jenis kue (terutama bolu), sejumlah produk rumah tangga umum, serta berbagai permainan dan hiburan dari Eropah mulai dikenal masyarakat Nusantara melalui pendatang ini dan keturunannya. Laporan Belanda pada abad ke-19 bahkan menyatakan bahwa bahasa Portugis bahkan masih dipakai oleh orang-orang keturunan campuran Eropah (mestizo) di Batavia. Musik keroncong adalah bentuk musik dari masyarakat campuran warisan masa ini dan kelak menjadi salah satu penciri budaya Eropah-Indonesia pada abad ke-20.

Menjadi kelas masyarakat tersendiri : Di bawah SHTB/VOC (1600-1799)

Penulis sejarah Belanda, Vlekke, banyak menggambarkan peri kehidupan masyarakat Eropah-Indonesia pada abad ke-17 hingga ke-18.[10] Pada masa itu, orang berdarah Eropah terpusat di Batavia dengan jumlah tidak mencapai 10.000 orang, namun berkuasa. Kehidupan mereka sulit, terlihat dari banyaknya yang meninggal beberapa bulan setelah tinggal di Batavia. Praktis semua beragama Kristen. Bahasa yang mereka pakai adalah campuran Belanda, Portugis, dan Melayu (Pasar).

Mereka dapat dipisahkan dalam dua kelompok: trekkers dan blijvers. Trekkers (atau masa kini disebut ekspatriat) adalah orang Eropah yang segera berkeinginan kembali ke Eropah setelah tugasnya selesai dan blijvers adalah mereka yang mampu beradaptasi, lalu menetap di Hindia Belanda. Blijvers ini banyak yang beristri orang setempat (dijuluki Nyai, seperti dalam legenda Nyai Dasima) atau orang Tionghoa. Kedua kelompok ini juga berbeda orientasinya. Para trekkers cenderung mempertahankan nilai-nilai Eropah (barat) sehingga selalu eksklusif dan elitis, sementara para blijvers cenderung meleburkan diri ke dalam nilai-nilai lokal, meskipun mereka tetap merupakan representasi budaya Eropah. Namun, orang Belanda secara keseluruhan pada umumnya lebih banyak terserap dalam nilai-nilai setempat daripada sebaliknya.[11]

Mereka inilah yang menjadi inti masyarakat kelas menengah berciri kosmopolitan di Batavia pada masa itu. Orang-orang ini takut mandi, suka minum-minum (arak Batavia terkenal terbaik di seluruh Asia), dan suka bertaman. Contoh dari orang Eropah-Indonesia adalah Pieter Elberfeld (Erberfeld, menurut Vlekke[10]), seorang keturunan Jerman-Siam yang (dituduh) memimpin kerusuhan pada 1721, dan C. Suythoff, yang adalah menantu pelukis ternama Belanda, Rembrandt.

Pengaruh VOC sebenarnya hanya kuat di Batavia, sebahagian Jawa, serta di Maluku & Minahasa. Di wilayah-wilayah ini mulai muncul perbedaan kelas sosial berdasarkan warna kulit, meskipun belum dilembagakan secara hukum. Masyarakat Eropah dan keturunannya menempati kawasan terpisah dari kelompok lainnya. Di dalam masyarakat ini juga mulai terjadi segregasi. Kaum trekkers serta blijvers yang tidak memiliki darah campuran (disebut "Belanda totok") menganggap dirinya lebih "tinggi" daripada mereka yang memiliki darah campuran. Kaum campuran (miesling) ini biasanya dipekerjakan di kantor-kantor dagang untuk membantu tugas-tugas pencatatan atau lapangan. Pendidikan mereka kurang diperhatikan dan banyak bergaul dengan para budak. Sebagai akibatnya, mereka banyak menyerap budaya lokal dan kurang memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang memadai. Bahkan tercatat bahwa pada akhir abad ke-18 banyak keturunan Belanda/Eropah yang lebih fasih berbahasa kreol-Portugis atau Melayu Pasar daripada bahasa Belanda. Dari mereka ini kemudian muncul dialek bahasa Belanda yang khas: Indisch Nederlands, dan sejenis bahasa kreol yang dikenal sebagai bahasa Pecok. Pada masa ini pula sejumlah budak lokal yang dibebaskan dan kemudian memeluk agama Kristen lambat-laun ikut terserap dalam masyarakat Eropah-Indonesia.

Masa keemasan: Hindia Belanda (1800-1942)

jmpl|230px|Keluarga campuran Belanda (ayah) dan Indo (ibu) sudah banyak terbentuk sejak kehadiran VOC, dan menguat pada abad ke-19 dan ke-20.

Perubahan besar yang terjadi di Eropah pada awal abad ke-19 (terutamanya semasa meletusnya Perang Napoleon) dan diberlakukannya Cultuurstelsel oleh Gubernur Jenderal van den Bosch membuat orang Eropah-Indonesia mulai menyebar ke berbagai tempat di Nusantara, terutama di Jawa dan sebahagian Sumatera, terutama untuk mengurus perkebunan-perkebunan. Banyak pendatang, sebahagian besar berasal dari Belanda ditambah beberapa orang Jerman dan Inggris. Untuk pengaturan ketertiban hukum, pemisahan ke dalam tiga kelompok, Europeanen (orang Eropah), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlanders (pribumi) diberlakukan semenjak 1854 (Regeringsreglement, "Undang-undang Administrasi Hindia") yang mempertegas pemisahan orang Eropah-Indonesia dari komponen masyarakat Indonesia lainnya. Ironisnya, walaupun undang-undang ini memasukkan kaum Eurasia ke dalam kelompok orang Eropah, tetapi mempertegas pula segregasi di dalam kalangan Europeanen, dan secara tidak langsung merugikan kalangan campuran. Ini terjadi karena mulai berdatangannya orang-orang dari Eropah (terutama Belanda) untuk berusaha. Akibatnya, kalangan "totok" (orang Eropah-Indonesia yang bukan campuran) mulai meningkat proporsinya dibandingkan kalangan campuran. Orang keturunan campuran (pada masa inilah istilah "Indo", kependekan dari Indo-Europeanen, mulai dipakai) seringkali dianggap lebih rendah oleh orang Eropah totok meskipun mereka dapat memiliki hak, keistimewaan, dan kewajiban yang sama apabila ayahnya 'mengakui'nya sebagai orang Eropah.[12] Sesuai aturan yang berlaku masa itu pula, Europeanen tidak dapat memiliki lahan secara pribadi, tetapi dapat menyewa dari orang pribumi. Di sisi lain, kaum Indo menurut aturan dibayar per jamnya lebih rendah daripada orang totok dan trekkers karena memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah. Hal ini memunculkan ketidakpuasan di kalangan Indo.

Gerakan liberalisme membuat banyak orang Eropah-Indonesia mulai berasosiasi menurut ideologi, dan pada abad ke-20 menjadi pembangkit gerakan nasionalisme di Hindia Belanda. Secara politis, orang Eropah-Indonesia pada awal abad ke-20 terpecah menjadi dua kelompok: mereka yang tetap ingin mempertahankan hubungan penuh dengan Belanda (kolonial) dan mereka yang memiliki aspirasi otonomi. Sejumlah orang Eropah dan Indo jelas-jelas mendukung Boedi Oetomo, organisasi pergerakan bercorak nasionalis pertama. Orang-orang Indo mahupun "totok" pun mulai terkonsolidasi. Pada tahun 1912 dibentuk Indische Partij (IP) oleh E.F.E. Douwes Dekker dengan dukungan banyak orang Eropah dengan tujuan kemerdekaan penuh bagi Hindia Belanda. Organisasi radikal ini dibungkam setahun kemudian oleh pemerintahan Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg karena dianggap membahayakan koloni. Kalangan orang Indo mayoritas yang pro-Belanda kemudian mendirikan pula organisasi untuk menandingi radikalisme IP, yaitu Indo-Europees Verbond (IEV) pada tahun 1919 oleh Karel Zaalberg. IEV sangat didukung oleh pemerintah koloni dan segera menjadi fraksi dominan dalam Volksraad yang sudah berdiri pada tahun 1916.

Pada tahun 1930 diketahui terdapat 246.000 orang Eropah-Indonesia (Europeanen), termasuk Indo. Jumlah ini mencakup sekitar 0,4% dari total 60,7 juta penduduk Hindia Belanda. Dari jumlah itu, 87% berkewarganegaraan Belanda. Seperempat dari warganegara Belanda ini lahir di Belanda.[13]

Masa suram: Pendudukan Jepun dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1939-1950)

Bahagian ini tidak memetik apa-apa sumber atau rujukan. Sila bantu dalam [//ms.wikipedia.org/w/index.php?title=Orang_Indo&action=edit memperbaiki bahagian ini] dengan menambahkan rujukan ke sumber-sumber yang boleh dipercayai. Bahan yang tidak disahkan mungkin akan dipertikai dan dipadam. (Oktober 2018) (Ketahui bagaimana dan bila untuk membuang pesanan templat ini)

Sejak masa ini mulai terjadi emigrasi besar-besaran orang Eropah-Indonesia ke luar Indonesia.

Pada Perang Dunia Kedua, orang Indo mengalami masa yang suram, baik yang tinggal di Eropah maupun Asia. Di Eropah, Jerman Nazi menduduki banyak negara dan memusuhi mereka yang bukan "Arya" asli (Eropah asli). Di Asia, pada perang Pasifik, tentara Jepun memperlakukan penduduk jajahannya dengan kejam, apalagi terhadap orang-orang dari Eropah (termasuk Indo). Banyak di antara mereka yang dapat melarikan diri, pergi ke negara-negara seperti Amerika Serikat, United Kingdom (salah satu negara Eropah yang tidak diduduki tentara Nazi), Australia (mengabaikan kebijakan ras- White Australia Policy), Selandia Baru dan Kanada karena mereka dapat diterima sebagai pelarian perang.

Situasi sangat sulit dialami oleh mereka yang terkait dengan Jerman. Di periode awal (1939-1942) mereka ditangkapi oleh pemerintah Hindia Belanda dan diusir. Walter Spies, seorang seniman terkenal, menjadi korban pada masa ini. Situasi agak membaik tetapi tetap buruk ketika Jepun masuk. Mereka dibebaskan (karena yang ditangkapi kemudian adalah orang-orang dari negara Sekutu, seperti Belanda, United Kingdom atau Prancis) namun menjadi sasaran salah tangkap karena penampilan yang sama. Akibatnya banyak yang memilih keluar dari Hindia Belanda.

Pasca-kemerdekaan Indonesia dan diaspora (1945-1965)

jmpl|300px|Orang Indo di atas kapal "Castel Felice" tiba di Rotterdam tahun 1958, menyusul peristiwa "Sinterklas Hitam"Perlawanan Indonesia terhadap Belanda yang cuba menguasai Indonesia kembali menimbulkan perasaan permusuhan di kalangan pribumi Indonesia terhadap mereka yang pro-Belanda. Mereka mencurigai siapa saja yang menyerupai orang Eropah (semua orang kulit putih dianggap pro-Belanda) atau yang mendukung penjajahan kembali. Orang Indo yang kebanyakan ingin kembali ke Belanda, merasa takut dan banyak yang melarikan diri ke koloni jajahan British di Tanah Melayu dan Singapura. Pada periode 1945-1946, terjadi gelombang kekerasan kepada orang Indo oleh kelompok pemuda yang dikenal sebagai periode Bersiap. Diperkirakan sekitar 20.000 orang Indo tewas dalam kejadian ini, dan menurut beberapa sejarawan, dapat dikatakan sebagai genosida.[14] Setelah 1949, Belanda membuka gelombang "repatriasi" warga Eropah-Indonesia ke Belanda. Pengakuan kedaulatan Indonesia pada akhir tahun 1949 memicu peningkatan jumlah repatriat. Tidak mudah bagi banyak orang Eropah-Indonesia untuk hidup di Belanda karena terjadi penolakan oleh sebagai warga Belanda yang merasa tersaingi dalam pencarian lapangan pekerjaan. Akibatnya banyak dari mereka yang kemudian kembali beremigrasi ke negara ketiga, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, atau Kanada.

Antara tahun 1945 dan 1965 diperkirakan terdapat 300.000 orang Belanda, Indo, ataupun orang Indonesia yang memilih pergi/kembali ke Belanda. Migrasi ini terjadi secara bergelombang. Banyak di antara mereka belum pernah ke Belanda sama sekali.

Penghijrahan beramai-ramai ini berlaku secaralima tahap:

  • Tahap pertama, 1945-1950: setelah penyerahan Jepun, sekitar 100.000 orang tawanan dibebaskan Jepun dan dipulangkan ke Belanda, meskipun sejumlah orang memilih bertahan di Indonesia dan mengalami masa sulit selama Perang Kemerdekaan.
  • Tahap kedua, 1950-1957: Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, sejumlah tentara dan pegawai pemerintahan Belanda dipulangkan, setelah diminta memilih. Di antara mereka banyak orang-orang bekas KNIL: 4000 orang Maluku dan juga tentara Belanda asal Afrika. Jumlah total tidak diketahui. Proses ini menyulut terjadinya Pemberontakan Republik Maluku Selatan
  • Tahap ketiga, 1957-1958: Setelah "Nieuw-Guinea-kwestie", sekitar 20.000 orang dipulangkan dari Papua ke Belanda.
  • Tahap keempat, 1962: setelah Belanda diharuskan meninggalkan Papua dan Papua diserahkan kepada UNTEA, sekitar 14.000 personal Belanda dipulangkan. Pada masa UNTEA pula terjadi emigrasi sekitar 500 orang Papua ke Belanda.
  • Tahap kelima, 1957-1964: Setelah Indonesia memberlakukan undang-undang kewarganegaraan (UU 62/1958), yang memaksa orang-orang Eropah-Indonesia harus memilih kewarganegaraan. Jika ingin menetap mereka harus melalui proses naturalisasi dan jika ingin tetap sebagai orang Belanda (Europeens) mereka harus meninggalkan Indonesia. Pada masa ini juga banyak terjadi emigrasi dari orang-orang keturunan asing yang tidak ingin menjadi warga negara Indonesia.

Rujukan

WikiPedia: Orang_Indo http://www.asaa2000.unimelb.edu.au/papers/wiseman.... http://www.asaa2000.unimelb.edu.au/papers/wiseman.... http://www.aboutbatik.com/backtobatik.php http://www.latimesmagazine.com/2011/02/the-long-wa... http://link.springer.com/article/10.1007/BF0303221... http://dispatch.opac.d-nb.de/DB=1.1/LNG=EN/CMD?ACT... http://prpm.dbp.gov.my/ http://prpm.dbp.gov.my/Cari1?keyword=contoh&d=3762... http://www.kiemnet.nl/nieuws/2006/04/Indische-Nede... http://www.nidi.knaw.nl/Content/NIDI/output/report...